GUBERNUR YANG MISKIN
=================
[Gubernur yang mulia dari generasi terbaik, Sa’id bin ‘Amir Al-Jumahi rodhiyalloohu ‘anhu]
Dua orang kholifah Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa’alaa aalihi
wasallam mengenal kejujuran Sa’id rodhiyallohu ‘anhu dan ketaqwaannya,
keduanya mendengar nasehatnya dan mencamkan kata-katanya.
Sa’id
datang kepada ‘Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu ‘anhu di awal
khilafahnya, dia berkata, “Wahai ‘Umar, aku berpesan kepadamu agar kamu
bertaqwa kepada Alloh dari manusia dan jangan takut kepada manusia dari
Alloh. Janganlah kata-katamu menyelisihi perbuatanmu, karena kata-kata
yang baik adalah yang dibenarkan oleh perbuatan. Wahai ‘Umar,
perhatikanlah orang-orang di mana Alloh ta’ala menyerahkan perkara
mereka kepadamu dari kalangan kaum muslimin yang dekat maupun yang jauh,
cintailah untuk mereka apa yang kamu cintai untuk dirimu dan
keluargamu, bencilah untuk mereka apa yang kamu benci untuk dirimu dan
keluargamu, hadapilah kesulitan-kesulitan untuk menuju pada kebenaran
dan jangan takut karena Alloh terhadap celaan orang-orang yang mencela.”
Maka ‘Umar menjawab, “Siapa yang mampu melakukannya wahai Sa’id?”
Sa’id berkata, “Hal itu bisa dilakukan oleh orang-orang sepertimu yang
Alloh ta’ala serahi perkara umat Muhammad dan di antara dia dengan Alloh
tidak terdapat seorangpun.”
Pada saat itu ‘Umar mengundang
Sa’id untuk mendukungnya, ‘Umar berkata, “Wahai Sa’id, aku menyerahkan
kota Himsh kepadamu.” Maka Sa’id menjawab, “Wahai ‘Umar, aku memohon
kepadamu dengan nama Alloh agar mencoret namaku.”
Maka ‘Umar
marah, dia berkata, “Celaka kalian, kalian meletakkan perkara ini di
pundakku kemudian kalian berlari dariku. Demi Alloh, aku tidak akan
membiarkanmu.”
‘Umar mengangkat S’aid sebagai gubernur Himsh, ‘Umar bertanya kepadanya, “Aku akan menetapkan gaji untukmu.”
Sa’id menjawab, “Apa yang aku lakukan dengan gaji itu wahai Amirul
Mukminin? Pemberian baitul maal kepadaku melebihi kebutuhanku.” Sa’id
pun berangkat ke Himsh menunaikan tugasnya.
Tidak lama berselang,
Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khoththob didatangi oleh orang-orang yang
bisa dipercaya dari penduduk Himsh, ‘Umar berkata kepada mereka,
“Tulislah nama penduduk miskin dari Himsh agar aku bisa membantu
mereka.”
Mereka menulis dalam sebuah lembaran, di dalamnya tercantum nama fulan dan fulan serta Sa’id bin ‘Amir.
‘Umar bertanya, “Siapa Sa’id bin ‘Amir?’
Mereka menjawab, “Gubernur kami.”
‘Umar menegaskan, “Gubernur kalian miskin?”
Mereka menjawab, “Benar, di rumahnya tidak pernah dinyalakan api dalam waktu yang cukup lama.”
Maka ‘Umar rhodiyallohu ‘anhu menangis hingga air matanya membasahi
janggutnya, kemudian dia mengambil seribu dinar dan memasukkannya ke
dalam sebuah kantong. ‘Umar berkata, “Sampaikan salamku kepadanya dan
katakana kepadanya bahwa Amirul Mukminin mengirimkan harta ini agar kamu
bisa menggunakannya untuk memenuhi kebutuhanmu.”
Delegasi pun
pulang dan mendatangi rumah Sa’id dengan menyerahkan kantong dari ‘Umar
bin Al-Khoththob. Sa’id melihatnya dan ternyata isinya adalah dinar,
maka dia menyingkirkannya seraya berkata, “Inna lillah wa inna ilayhi
roji’un.” Seolah-olah Sa’id sedang ditimpa musibah besar atau perkara
berat.
Istrinya datang tergopoh-gopoh dengan penuh kecemasan,
dia berkata, “Apa yang terjadi wahai Sa’id? Apakah Amirul Mukminin
wafat?”
Sa’id menjawab, “Lebih besar dari itu.”
Istrinya bertanya, “Apa yang lebih besar?”
Sa’id menjawab, “Dunia datang kepadaku untuk merusak akheratku, sebuah fitnah telah menerpa rumahku.”
Istrinya berkata, “Engkau harus berlepas diri darinya.” Dia belum mengerti apapun terkait dengan perkara dinar tersebut.
Sa’id bertanya, “Kamu bersedia membantuku?”
Istrinya menjawab, “Ya.”
Maka Sa’id mengambil dinar itu, memasukkannya ke dalam kantong-kantong dan membagi-bagikannya kepada kaum muslimin yang miskin.
Tidak berselang lama setelah itu, ‘Umar bin Al-Khoththob datang ke
negeri Syam untuk mengetahui keadaannya. Ketika ‘Umar tiba di Himsh,
kota ini juga dikenal dengan Kuwaifah, bentuk kecil dari Kufah, kota
Himsh disamakan dengan Kufah karena banyaknya keluhan penduduknya
terhadap para gubernurnya seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kufah,
ketika ‘Umar tiba di sana, orang-orang Himsh bertemu dengan ‘Umar untuk
memberi salam kepadanya. ‘Umar bertanya, “Bagaimana dengan gubernur
kalian?”
Maka mereka mengadukannya dan menyebutkan empat hal dari sikapnya, yang satu lebih besar daripada yang lain.
‘Umar berkata, “Maka aku mengumpulkan mereka dengan pribadi Sa’id
sebagai gubernur mereka dalam sebuah majelis, aku memohon kepada Alloh
agar dugaanku kepadanya selama ini tidak salah, aku sangat percaya
kepadanya. Ketika mereka dengan gubernur mereka berada di hadapanku, aku
berkata, “Apa keluhan kalian terhadap gubernur kalian?”
Mereka menjawab, “Dia tidak keluar kepada kami kecuali ketika siang sudah naik.”
Aku berkata, “Apa jawabanmu wahai Sa’id?”
Sa’id diam sesaat kemudian berkata, “Demi Alloh, akau sebenarnya tidak
suka mengatakan hal ini, akan tetapi memang harus dikatakan. Keluargaku
tidak mempunyai pembantu. Setiap pagi aku menyiapkan adonan mereka,
kemudian aku menunggunya beberapa saat sampai ia mengembang, kemudian
aku membuat roti untuk mereka, kemudian aku berwudhu dan keluar untuk
masyarakat.”
‘Umar berkata, “Apa yang kalian keluhkan darinya juga?”
Mereka menjawab, “Dia tidak menerima seorang pun di malam hari.”
Sa’id berkata, “Demi Alloh, aku juga malu mengatakan hal ini. Aku telah
memberikan siang bagi mereka, sedangkan malam maka aku memberikannya
kepada Alloh.”
Aku bertanya, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”
Mereka menjawab, “Dia tidak keluar kepada kami satu hari dalam satu bulan.”
Aku bertanya, “Apa ini wahai Sa’id?”
Sa’id menjawab, “ Aku tidak mempunyai pelayan wahai Amirul Mukminin,
aku pun tiidak mempunyai pakaian selain yang melekat di tubuhku ini. Aku
mencucinya sekali dalam sebulan, dan menunggu sampai kering, baru
kemudian aku keluar sore hari.”
Kemudian aku bertanya lagi, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”
Mereka menjawab, “Terkadang dia jatuh pingsan sehingga tidak ingat terhadap orang-orang disekitarnya.”
Aku bertanya, “Apa ini wahai Sa’id?”
Sa’id menjawab, “Aku menyaksikan kematian Khubaib bin Adi ketika aku
masih musyrik, aku melihat orang-orang Quroisy mencincang jasadnya
sambil berkata kepadanya, ‘Apakah kamu ingin Muhammad ada di tempatmu
ini?’ Lalu dia menjawab, ‘Demi Alloh, aku tidak ingin berada di antara
keluarga dan anak-anakku dalam keadaan tenang sedangkan Muhammad
tertusuk oleh sebuah duri.’ Demi Alloh setiap aku teringat hari itu,
yakni ketika aku membiarkannya dan tidak menolongnya sehingga aku
senantiasa dikejar ketakutan bahwa Alloh tidak akan mengampuniku, maka
aku pun pingsan.”
Saat itu ‘Umar berkata, “Segala puji bagi Alloh yang membenarkan dugaanku kepadamu.”
Kemudian ‘Umar memberinya seribu dinar agar dia gunakan untuk memenuhi kebutuhanya.
Istrinya melihatnya, dia pun berkata, “Segala puji bagi Alloh yang
telah mencukupkan kami dari pelayananmu, belilah kebutuhan kami dan
ambillah seorang pelayan.”
Sa’id berkata kepadanya, “Apakah kamu mau aku tunjukkan kepada yang lebih baik dari itu?” Istrinya balik bertanya, “Apa itu?”
Sa’id berkata, “Kita memberikannya kepada siapa yang membawanya kepada kita, kita lebih membutuhkan hal itu.”
Istrinya bertanya, “Apa maksudmu?”
Sa’id menjawab, “Kita berikan kepada Alloh dengan cara yang baik.”
Istrinya berkata, “Setuju dan semoga Alloh membalasmu dengan kebaikan.”
Sa’id tidak meninggalkan majelisnya hingga dia membagi dinar tersebut
di beberapa kantong, lalu dia berkata kepada salah seorang anggota
keluarganya, “Berikanlah ini kepada janda fulan, berikanlah ini kepada
anak-anak yatim fulan, berikanlah ini kepada keluarga fulan, berikanlah
ini kepada orang-orang miskin dari keluarga fulan.”
Semoga
Alloh meridhoi Sa’id bin Amir Al-Jumahi, dia termasuk orang-orang yang
mementingkan saudaranya sekalipun dia sendiri memerlukan.
[Diketik Ulang dari Buku “Shuwar min hayaati ashshohaabah”/”Mereka adalah para shahabat”, Pustaka At-Tibyan]
GUBERNUR YANG MISKIN
=================
Dua orang kholifah Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa’alaa aalihi wasallam mengenal kejujuran Sa’id rodhiyallohu ‘anhu dan ketaqwaannya, keduanya mendengar nasehatnya dan mencamkan kata-katanya.
Sa’id datang kepada ‘Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu ‘anhu di awal khilafahnya, dia berkata, “Wahai ‘Umar, aku berpesan kepadamu agar kamu bertaqwa kepada Alloh dari manusia dan jangan takut kepada manusia dari Alloh. Janganlah kata-katamu menyelisihi perbuatanmu, karena kata-kata yang baik adalah yang dibenarkan oleh perbuatan. Wahai ‘Umar, perhatikanlah orang-orang di mana Alloh ta’ala menyerahkan perkara mereka kepadamu dari kalangan kaum muslimin yang dekat maupun yang jauh, cintailah untuk mereka apa yang kamu cintai untuk dirimu dan keluargamu, bencilah untuk mereka apa yang kamu benci untuk dirimu dan keluargamu, hadapilah kesulitan-kesulitan untuk menuju pada kebenaran dan jangan takut karena Alloh terhadap celaan orang-orang yang mencela.”
Maka ‘Umar menjawab, “Siapa yang mampu melakukannya wahai Sa’id?”
Sa’id berkata, “Hal itu bisa dilakukan oleh orang-orang sepertimu yang Alloh ta’ala serahi perkara umat Muhammad dan di antara dia dengan Alloh tidak terdapat seorangpun.”
Pada saat itu ‘Umar mengundang Sa’id untuk mendukungnya, ‘Umar berkata, “Wahai Sa’id, aku menyerahkan kota Himsh kepadamu.” Maka Sa’id menjawab, “Wahai ‘Umar, aku memohon kepadamu dengan nama Alloh agar mencoret namaku.”
Maka ‘Umar marah, dia berkata, “Celaka kalian, kalian meletakkan perkara ini di pundakku kemudian kalian berlari dariku. Demi Alloh, aku tidak akan membiarkanmu.”
‘Umar mengangkat S’aid sebagai gubernur Himsh, ‘Umar bertanya kepadanya, “Aku akan menetapkan gaji untukmu.”
Sa’id menjawab, “Apa yang aku lakukan dengan gaji itu wahai Amirul Mukminin? Pemberian baitul maal kepadaku melebihi kebutuhanku.” Sa’id pun berangkat ke Himsh menunaikan tugasnya.
Tidak lama berselang, Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khoththob didatangi oleh orang-orang yang bisa dipercaya dari penduduk Himsh, ‘Umar berkata kepada mereka, “Tulislah nama penduduk miskin dari Himsh agar aku bisa membantu mereka.”
Mereka menulis dalam sebuah lembaran, di dalamnya tercantum nama fulan dan fulan serta Sa’id bin ‘Amir.
‘Umar bertanya, “Siapa Sa’id bin ‘Amir?’
Mereka menjawab, “Gubernur kami.”
‘Umar menegaskan, “Gubernur kalian miskin?”
Mereka menjawab, “Benar, di rumahnya tidak pernah dinyalakan api dalam waktu yang cukup lama.”
Maka ‘Umar rhodiyallohu ‘anhu menangis hingga air matanya membasahi janggutnya, kemudian dia mengambil seribu dinar dan memasukkannya ke dalam sebuah kantong. ‘Umar berkata, “Sampaikan salamku kepadanya dan katakana kepadanya bahwa Amirul Mukminin mengirimkan harta ini agar kamu bisa menggunakannya untuk memenuhi kebutuhanmu.”
Delegasi pun pulang dan mendatangi rumah Sa’id dengan menyerahkan kantong dari ‘Umar bin Al-Khoththob. Sa’id melihatnya dan ternyata isinya adalah dinar, maka dia menyingkirkannya seraya berkata, “Inna lillah wa inna ilayhi roji’un.” Seolah-olah Sa’id sedang ditimpa musibah besar atau perkara berat.
Istrinya datang tergopoh-gopoh dengan penuh kecemasan, dia berkata, “Apa yang terjadi wahai Sa’id? Apakah Amirul Mukminin wafat?”
Sa’id menjawab, “Lebih besar dari itu.”
Istrinya bertanya, “Apa yang lebih besar?”
Sa’id menjawab, “Dunia datang kepadaku untuk merusak akheratku, sebuah fitnah telah menerpa rumahku.”
Istrinya berkata, “Engkau harus berlepas diri darinya.” Dia belum mengerti apapun terkait dengan perkara dinar tersebut.
Sa’id bertanya, “Kamu bersedia membantuku?”
Istrinya menjawab, “Ya.”
Maka Sa’id mengambil dinar itu, memasukkannya ke dalam kantong-kantong dan membagi-bagikannya kepada kaum muslimin yang miskin.
Tidak berselang lama setelah itu, ‘Umar bin Al-Khoththob datang ke negeri Syam untuk mengetahui keadaannya. Ketika ‘Umar tiba di Himsh, kota ini juga dikenal dengan Kuwaifah, bentuk kecil dari Kufah, kota Himsh disamakan dengan Kufah karena banyaknya keluhan penduduknya terhadap para gubernurnya seperti yang dilakukan oleh orang-orang Kufah, ketika ‘Umar tiba di sana, orang-orang Himsh bertemu dengan ‘Umar untuk memberi salam kepadanya. ‘Umar bertanya, “Bagaimana dengan gubernur kalian?”
Maka mereka mengadukannya dan menyebutkan empat hal dari sikapnya, yang satu lebih besar daripada yang lain.
‘Umar berkata, “Maka aku mengumpulkan mereka dengan pribadi Sa’id sebagai gubernur mereka dalam sebuah majelis, aku memohon kepada Alloh agar dugaanku kepadanya selama ini tidak salah, aku sangat percaya kepadanya. Ketika mereka dengan gubernur mereka berada di hadapanku, aku berkata, “Apa keluhan kalian terhadap gubernur kalian?”
Mereka menjawab, “Dia tidak keluar kepada kami kecuali ketika siang sudah naik.”
Aku berkata, “Apa jawabanmu wahai Sa’id?”
Sa’id diam sesaat kemudian berkata, “Demi Alloh, akau sebenarnya tidak suka mengatakan hal ini, akan tetapi memang harus dikatakan. Keluargaku tidak mempunyai pembantu. Setiap pagi aku menyiapkan adonan mereka, kemudian aku menunggunya beberapa saat sampai ia mengembang, kemudian aku membuat roti untuk mereka, kemudian aku berwudhu dan keluar untuk masyarakat.”
‘Umar berkata, “Apa yang kalian keluhkan darinya juga?”
Mereka menjawab, “Dia tidak menerima seorang pun di malam hari.”
Sa’id berkata, “Demi Alloh, aku juga malu mengatakan hal ini. Aku telah memberikan siang bagi mereka, sedangkan malam maka aku memberikannya kepada Alloh.”
Aku bertanya, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”
Mereka menjawab, “Dia tidak keluar kepada kami satu hari dalam satu bulan.”
Aku bertanya, “Apa ini wahai Sa’id?”
Sa’id menjawab, “ Aku tidak mempunyai pelayan wahai Amirul Mukminin, aku pun tiidak mempunyai pakaian selain yang melekat di tubuhku ini. Aku mencucinya sekali dalam sebulan, dan menunggu sampai kering, baru kemudian aku keluar sore hari.”
Kemudian aku bertanya lagi, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”
Mereka menjawab, “Terkadang dia jatuh pingsan sehingga tidak ingat terhadap orang-orang disekitarnya.”
Aku bertanya, “Apa ini wahai Sa’id?”
Sa’id menjawab, “Aku menyaksikan kematian Khubaib bin Adi ketika aku masih musyrik, aku melihat orang-orang Quroisy mencincang jasadnya sambil berkata kepadanya, ‘Apakah kamu ingin Muhammad ada di tempatmu ini?’ Lalu dia menjawab, ‘Demi Alloh, aku tidak ingin berada di antara keluarga dan anak-anakku dalam keadaan tenang sedangkan Muhammad tertusuk oleh sebuah duri.’ Demi Alloh setiap aku teringat hari itu, yakni ketika aku membiarkannya dan tidak menolongnya sehingga aku senantiasa dikejar ketakutan bahwa Alloh tidak akan mengampuniku, maka aku pun pingsan.”
Saat itu ‘Umar berkata, “Segala puji bagi Alloh yang membenarkan dugaanku kepadamu.”
Kemudian ‘Umar memberinya seribu dinar agar dia gunakan untuk memenuhi kebutuhanya.
Istrinya melihatnya, dia pun berkata, “Segala puji bagi Alloh yang telah mencukupkan kami dari pelayananmu, belilah kebutuhan kami dan ambillah seorang pelayan.”
Sa’id berkata kepadanya, “Apakah kamu mau aku tunjukkan kepada yang lebih baik dari itu?” Istrinya balik bertanya, “Apa itu?”
Sa’id berkata, “Kita memberikannya kepada siapa yang membawanya kepada kita, kita lebih membutuhkan hal itu.”
Istrinya bertanya, “Apa maksudmu?”
Sa’id menjawab, “Kita berikan kepada Alloh dengan cara yang baik.”
Istrinya berkata, “Setuju dan semoga Alloh membalasmu dengan kebaikan.”
Sa’id tidak meninggalkan majelisnya hingga dia membagi dinar tersebut di beberapa kantong, lalu dia berkata kepada salah seorang anggota keluarganya, “Berikanlah ini kepada janda fulan, berikanlah ini kepada anak-anak yatim fulan, berikanlah ini kepada keluarga fulan, berikanlah ini kepada orang-orang miskin dari keluarga fulan.”
Semoga Alloh meridhoi Sa’id bin Amir Al-Jumahi, dia termasuk orang-orang yang mementingkan saudaranya sekalipun dia sendiri memerlukan.
[Diketik Ulang dari Buku “Shuwar min hayaati ashshohaabah”/”Mereka adalah para shahabat”, Pustaka At-Tibyan]
0 Comments
Jangan Lupa Tinggalkan Komentar, Mohon berkomentar yang positif.