Saat sedang iseng mencari artikel tentang cadar di Mbah Google, muncul sebuah artikel dengan judul menarik “Jika Cadar Dianggap Setan“. Penasaran dengan isi artikel yang memiliki judul unik itu, penulis pun akhirnya membuka salah satu webblog dengan alamat http://gizanherbal.wordpress.com. Dalam artikel yang di posting tanggal 7 Februari 2012 itu diceritakan sebuah kisah seorang akhwat bercadar, kira-kira seperti ini ceritanya :
Pernah suatu hari ada seorang akhwat
bercadar berbelanja ke pasar. Ketika melewati seorang ibu penjual sayur,
tiba-tiba si ibu penjual sayur itu nyeplos :“Awas ada setan lewat!“
Merasa tidak enak dengan perkataan ibu
tersebut, sang akhwat bercadar itu kemudian mendekatinya, lalu bertanya
: “Apa yang ibu katakan barusan... setan itu adalah saya?“
Dengan tergagap si penjual sayur tersebut terpaksa menjawab, “Ya.“
Akhwat bercadar tadi berkata, “Benar
Bu, saya adalah setan sehingga saya menutup wajah saya. Jika saya
menampakkan wajah saya maka suami ibu akan takluk di hadapan saya.“
Kemudian akhwat bercadar itu membuka
penutup wajahnya di hadapan wanita penjual sayur, dan ternyata wajahnya
cantik jelita hingga membuat ibu penjual sayur itu tercengang.
(Kisah ini diceritakan oleh seorang ikhwan dari penuturan salah seorang dosen di Universitas Negeri Makasar)
Sesuatu yang dialami oleh akhwat
bercadar itu agaknya juga dialami oleh akhwat bercadar lainnya di
Indonesia. Cadar agaknya masih dianggap sebagai hal yang aneh dan strange.
Padahal Indonesia terkenal dengan penduduknya yang mayoritas Islam.
Ejekan dan celaan nampaknya sudah menjadi hal biasa bagi akhwat
bercadar. Dibilang ninja lah, bermuka jeleklah, tidak PD dengan
penampilan lah, de es be, de el el. Tak jarang pula akhwat-akhwat
bercadar mendapatkan perlakuan kasar dan tindakan diskrimanatif, seperti
dilempari batu ketika berjalan. Terlebih ketika isu-isu terorisme mulai
hot di kalangan masyarakat Indonesia. Yang sangat disayangkan
terkadang yang mengejek atau menjelek-jelekkan akhwat bercadar adalah
seorang yang beragama Islam.
Memang cadar adalah masalah khilafiy, ada ulama yang mewajibkannya, ada pula yang tidak mewajibkannya dan menganggapnya sebagai keutamaan.
Dalil-Dalil Ulama yang Mewajibkan Cadar
Adapun ulama yang mewajibkan cadar
adalah Syeikh Muhammad AS-Sinqithi, Syeikh Abdul Aziz bin Baaz, Syeikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syeikh Bakr Abu Zaid, Syeikh Mushtafa
Al-Adawi, Syeikh Sholih Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan dan beberapa ulama
lainnya. Hujjah atau dalil yang digunakan oleh ulama yang mewajibkan cadar beberapa di antaranya adalah :
Pertama, firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat An-Nuur ayat 31:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ...
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka.”
Allah ta'ala memerintahkan wanita mu’min
untuk memelihara kemaluan mereka, hal itu juga mencakup perintah
melakukan sarana-sarana untuk memelihara kemaluan. Karena menutup wajah
termasuk sarana untuk memelihara kemaluan, maka juga diperintahkan,
karena sarana memiliki hukum tujuan. Ini disebutkan oleh Syeikh Muhammad
bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam kitab beliau Risalah Al-Hijab.
Kedua, firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat An-Nuur ayat 31:
...وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ...
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.”
Berdasarkan ayat ini wanita wajib
menutupi dada dan lehernya, maka menutup wajah lebih wajib! Karena wajah
adalah tempat kecantikan dan godaan. Bagaimana mungkin agama yang
bijaksana ini memerintahkan wanita menutupi dada dan lehernya, tetapi
membolehkan membuka wajah? (Lihat Risalah Al-Hijab, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin).
Ketiga, firman Allah subhanahu wa ta’ala :
...وَلَايَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَايُخْفِينَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّ...
“Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS. An-Nuur: 31)
Allah melarang wanita menghentakkan
kakinya agar diketahui perhiasannya yang dia sembunyikan, seperti gelang
kaki dan sebagainya. Hal ini karena dikhawatirkan laki-laki akan
tergoda gara-gara mendengar suara gelang kakinya atau semacamnya. Maka
godaan yang ditimbulkan karena memandang wajah wanita cantik, apalagi
yang dirias, lebih besar daripada sekedar mendengar suara gelang kaki
wanita. Sehingga wajah wanita lebih pantas ditutup untuk menghindarkan
kemaksiatan. (Lihat Risalah Al-Hijab, karya Syeikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin).
Keempat, dalam surat Al-Ahzab ayat 59 :
يَآأَيُّهَا
النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَ بَنَاتِكَ وَ نِسآءِ الْمُؤمِنِيْنَ
يُدْنِيْنَض عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ
يُعْرَفْنَ فَلَايُؤذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيْمَا
“Hai Nabi katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka.” Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata, "Allah memerintahkan kepada istri-istri kaum mu’minin,
jika mereka keluar rumah karena suatu keperluan, hendaklah mereka
menutupi wajah mereka dengan jilbab (pakaian semacam mukena) dari kepala
mereka. Mereka dapat menampakkan satu mata saja." (Syeikh Mushthafa
Al-Adawi menyatakan bahwa perawi riwayat ini dari Ibnu Abbas adalah Ali
bin Abi Thalhah yang tidak mendengar dari ibnu Abbas. Lihat Jami' Ahkam An-Nisaa’)
Makna jilbab sendiri adalah pakaian
yang luas yang menutupi seluruh badan. Sehingga seorang wanita wajib
memakai jilbab itu pada pakaian luarnya dari ujung kepalanya turun
sampai menutupi wajahnya, segala perhiasannya dan seluruh badannya
sampai menutupi kedua ujung kakinya. Yang biasa nampak pada sebagian
wanita jahiliah adalah wajah mereka, lalu Allah perintahkan istri-istri
dan anak-anak perempuan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam serta istri-istri orang mu’min untuk mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka. Kata idna' (pada ayat tersebut يُدْنِينَ ) yang ditambahkan huruf (عَلَي)
mengandung makna mengulurkan dari atas. Maka jilbab itu diulurkan dari
atas kepala menutupi wajah dan badan. Menutupi wajah, baju, dan
perhiasan dengan jilbab itulah yang dipahami oleh wanita-wanita sahabat.
(Lihat Hirasah Al-Fadhilah, Syeikh Bakar bin Abu Zaid)
Dalil-Dalil Ulama yang Tidak Mewajibkan Cadar
Adapun dalil yang tidak mewajibkan cadar adalah, Pertama dalam surat An-Nuur ayat 31 :
وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ
مِنْهَا...
”Katakanlah kepada wanita yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
dari padanya. ” (QS. An-Nuur:31)
Imam Al-Qurthubi dalam menafsirkan
ayat di atas mengatakan bahwa ”yang biasa nampak dari padanya” adalah
wajah dan kedua telapak tangan, sebagaimana kebiasaan maupun ibadah,
seperti shalat dan haji. Hadits yang diriwayatkan ’Aisyah radhiyallahu ’anha bahwasanya Asma binti Abu Bakar menemui Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam dengan mengenakan pakaian yang tipis. Kemudian Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam berpaling
dan mengatakan kepadanya, ”Wahai Asma, sesungguhnya apabila seorang
wanita telah mendapatkan haid, maka tidak sepantasnya ia
memperlihatkannya kecuali ini.” beliau mengisyaratkan kepada wajah dan
kedua telapak tangan. (lihat Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an Al-Qurthuby)
Adapun yang dimaksud dengan wajah
adalah mulai dari ujung tumbuhnya rambut sampai ke bagian bawah dari
dagu dan selebar antara dua daun telinga dengan tidak menampakkan
rambut, tenggorokan, telinga, dan tidak juga leher.
Kedua, adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat An-Nuur ayat 31 :
...وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ...
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.”
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, "Allah subhanahu wa ta'ala memerintahkan para wanita menutupkan khimar (kerudung) pada belahan-belahan baju (dada dan lehernya), maka ini merupakan nash menutupi aurat, leher dan dada. Dalam firman Allah ini juga terdapat nash bolehnya membuka wajah, tidak mungkin selain itu." (Lihat Jilbab Al-Mar'ah Al-Muslimah). Karena memang makna khimar (kerudung) adalah sesuatu yang menutup kepala. Demikian disebutkan dalam Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim karya Al Hafizh Ibnu Katsir.
Dalam Al-Muhalla juga disebutkan, bahwa al-khumru adalah bentuk jamak dari kata khimaaru, yaitu tutup kepala. Sedangkan lafal al-juyuubu adalah bentuk jamak dari kata jaybu yang artinya belahan dada pada baju atau lainnya. Maka wanita-wanita mu’minah diperintahkan
menutupkan dan mengulurkan penutup kepalanya sehingga dapat menutupi
leher dan dadanya, dan jangan membiarkannya terlihat sebagaimana yang
dilakukan wanita-wanita jahiliah.
Ketiga, firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat An-Nuur ayat 31:
...إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا...
”Kecuali yang (biasa) nampak daripadanya..“
Syeikh Yusuf Qordhowi mengambil pendapat melalui penafsiran Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu yang menafsirkan ”yang biasa nampak“ dengan celak, cincin, anting-anting, dan kalung. Karena pengecualian (istisna‘) dalam ayat ”kecuali yang biasa nampak daripadanya“ itu datang setelah larangan menampakkan perhiasan yang hal ini menunjukkan rukhsah (keringanan) dan pemberian kemudahan. Sedangkan selendang, jilbab, dan pakaian-pakaian luar lainnya sama sekali bukan rukhsah atau
kemudahan, atau menghilangkan kesulitan, karena pakaian luar itu sudah
biasa terlihat. Oleh karena itu, pendapat ini dikuatkan oleh
Ath-Thabari, Al-Qurthubi, Ar-Razi, dan lainnya, dan ini merupakan
pendapat jumhur ulama.
Itulah beberapa pendapat dan
dalil-dalil ulama baik yang mewajibkan cadar maupun yang tidak
mewajibkan cadar. Sebenarnya masih banyak lagi hujjah yang
mewajibkan cadar maupun yang tidak mewajibkan cadar. Dan apabila
semuanya dipaparkan di sini, sepertinya akan membutuhkan banyak halaman
dan memakan space di web. Dan artikel ini tidak untuk membahas tentang hukum-hukum cadar.
Oke... dari pemaparan di atas kita tahu bahwa cadar itu masalah khilafiy ada yang mewajibkannya dan tidak mewajibkannya. Tapi jangan mentang-mentang masalah khilafiy lantas
membencinya ataupun menolaknya. Boleh apabila kita belum siap untuk
bercadar atau menganggap cadar bukanlah suatu kewajiban. Tapi cadar
adalah bagian dari syariat Islam yang tidak boleh kita benci maupun kita
tolak. Yang miris adalah, ada seorang yang mengaku muslim mengatakan
bahwa menutup muka dengan cadar adalah tindakan tidak bermoral.
sedangkan agama Islam adalah agama yang bermoral. Jadi dia menyimpulkan
bahwa orang yang bercadar itu bukan Islam. Astaghfirullah...
Salah satu alasan orang-orang yang
tidak menyukai cadar adalah karena cadar sering disalahgunakan oleh
oknum tertentu. Ada pencuri yang memakai cadar untuk bersembunyi atau
menyamar. Atau kasus yang keren lagi, ada seorang koruptor yang
bersembunyi di balik cadar ketika menjalani proses pengadilan. Atau ada
juga laki-laki yang menyamar menggunakan cadar lalu tiba-tiba membom
sebuah hotel. Nah… oknum-oknum kaya gini ini yang membuat citra cadar
jadi buruk. Seharusnya yang disalahkan bukanlah cadarnya tapi oknumnya.
Hanya saja yang sering terjadi adalah cadarnya yang justru disalahkan.
Di Eropa wanita yang menggunakan cadar atau niqab di tempat umum
didenda. Alasannya sih demi keamanan, biar nggak ada penjahat yang bisa
nyamar pake cadar.
Nggak salah koq kalau kita belum siap
untuk bercadar, yang salah adalah ketika kita belum siap bercadar atau
tidak mewajibkan cadar, lantas mencela orang –orang yang bercadar, atau
mengolok-oloknya atau bahkan membenci syariat cadar. Ingat saudariku
sekalian, masalah khilafiy ini masih bagian dari syariat Islam
lho! Nah, kalau syariat Islam diolok-olok oleh seorang yang mengaku
muslim, berhati-hatilah karena bisa menuju kepada kekufuran. Wal ’iyadu billah.
Wallahu a’lam bishowab
By : Nadhiva Zahra
0 Comments
Jangan Lupa Tinggalkan Komentar, Mohon berkomentar yang positif.