Madariju at-takwa itu ada 5: mu’ahadah, muroqobah, muhasabah, mu’aqobah, dan mujahadah.
- Mu’ahadah – Mengingat Perjanjian “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji” (An-Nahl: 91) Setiap hari dalam Al-Fatihah yang kita baca, kita berjanji pada Allah untuk hanya menyembah dan meminta pertolongan padaNya. Selain itu, sebenarnya waktu masih belum lahir, waktu kita masih di alam ruh, Allah telah mengambil persaksian dari semua manusia untuk tidak menyekutukannya. Ayo, masih ingat peristiwa ini ada di Al-Qur’an surat apa dan ayat berapa? Pun dengan syahadat yang selalu kita ulang-ulang setiap hari: aku bersaksi tiada Tuhan (Ilah) selain Allah. Tuhan di sini menggunakan kata ILAH yang maknanya “yang ditakuti, yang dicinta, yang diikuti, yang diharapkan” dan semua itu mengantarkan pada penghambaan yang sempurna. Orang yang menghamba hanya pada Allah, beriman pada Allah, akan merasa tenang hatinya karena yakin dengan jaminan Allah dan ridho dengan semua kehendakNya. Contohnya, gak takut gak kebagian rezeki karena Allah udah menjamin rezeki setiap makhlukNya.
- Muroqobah – Merasakan Kesertaan Allah Ada beberapa macam muroqobah: Muroqobah dalam melaksanakan ketaatan adalah dengan ikhlas karena Allah Muroqobah dalam kemaksiatan adalah dengan taubat, penyesalan, dan meninggalkannya secara total Muroqobah dalam hal-hal yang mubah adalah menjaga adab terhadap Allah dan selalu bersyukur atas nikmatNya Muroqobah dalam musibah adalah dengan ridha kepada ketentuanNya dan memohon pertolonganNya dengan penuh kesabaran. Intinya adalah merasakan keberadaan Allah di setiap kesempatan, baik dalam kondisi ramai maupun sendirian. Karena sebenarnya, kita sebagai manusia itu seperti aktor, yang setiap saat selalu disorot oleh “kamera”-nya Allah, dan suatu hari (di akhirat) rekaman catatan itu akan diputar di hadapan banyak orang.
- Muhasabah – Introspeksi Diri Bagusnya setiap hari hal ini dilakukan. Caranya adalah dengan memeriksa amalnya, apakah karena Allah atau karena kepentingan pribadi/popularitasnya belaka? Umar bin Khattab berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk pertunjukkan yang agung (hari kiamat). Di hari itu kamu dihadapkan kepada pemeriksaan, tiada yang tersembunyi dari amal kalian barang satu pun.” Merenungkan kembali “perniagaan dengan Allah”, apakah merugi (banyak dosa) ataukah untung (banyak kebaikan pendulang pahala). Ingatlah, hanya berniaga dengan Allah lah yang pasti laku, pasti untung berlipat ganda. Salah satu aspek yang perlu diintrospeksi adalah ibadah harian, atau nama bekennya mutaba’ah yaumiyah: tahajud kah tadi malam? shalat dhuha kah? tilawahnya berapa lembar? shalat rawatib berapa kali? dll.
- Mu’aqobah – Pemberian Sanksi Pembaca pasti pernah mendengar kisah seorang Umar bin Khattab yang terlambat shalat berjama’ah karena asik mengawasi kebunnya. Apa yang dia lakukan? Dia meng-iqob dirinya dengan menyedekahkan seluruh kebunnya! Begitulah agar kesalahan tidak menjadi kebiasaan seorang mukmin, maka ketika salah ia menghukum dirinya agar sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan. Iqob yang diberlakukan adalah sesuatu yang mubah, tidak boleh yang haram atau membahayakan/menzhalimi diri sendiri. Contohnya, kalau terlewat shalat tahajud semalam bisa meng-iqob diri dengan menggandakan shalat dhuha dan tilawah di hari itu. Agar terasa bekasnya pada jiwa, bahwa sebuah kelalaian adalah sebuah kesalahan, bukan sesuatu yang dapat begitu saja dimaklumi lalu dilupakan.
- Mujahadah – Optimalisasi
“Apabila seorang mukmin terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya, maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunnah lebih banyak dari sebelumnya”.
Yap, memaksa diri untuk tidak malas-malasan dan tidak menuruti hawa nafsu, lalu melakukan kerja-kerja besar. Inilah mungkin mengapa ada orang yang bilang “myself is my biggest enemy”, karena setiap saat kita memang selalu berperang dengan hawa nafsu sendiri.
Rasulullah saja yang dosa-dosanya diampuni, tetap shalat malam sampai bengkak kakinya. Para sahabat tidak kurang mencontohkan tentang bersungguh-sungguh dalam beribadah dan mengesampingkan hawa nafsunya. Jadi teringat pula ucapan Rasulullah pada Bilal, “Yaa Bilal, arihnaa bish-shalah”. Wahai Bilal, istirahatkan kami dengan shalat. Bagi kita yang terkadang berat melakukan shalat, mungkin berpikir kok bisa-bisanya shalat jadi istirahat. Tapi itulah Rasul dan para sahabat, waktu-waktu di luar shalat mereka adalah jihad dan kerja-kerja besar membangun peradaban.
Semoga kita dapat meneladani mereka semua dalam menapaki tangga-tangga menuju takwa. Referensi: Tarbiyah Ruhiyah – Dr. Abdullah Nashih Ulwan
0 Comments
Jangan Lupa Tinggalkan Komentar, Mohon berkomentar yang positif.